Infolinks In Text Ads

Bentuk atau Pembadanan Hukum

Bentuk atau Pembadanan Hukum
Pembadanan hukum adalah Cara norma hukum menampakkan wujud dirinya. Ada dua cara hukum menampakkan dirinya, yakni tertulis dan tidak tertulis.
Bentuk tertulis bisa berupa:
• Peraturan perundang-undangan;
• Peraturan kebijakan; dan
• Hukum adat yang dituliskan.
Sedangkan bentuk tidak tertulis bisa dalam bentuk:
• Simbol;
• Lambang, atau;
• Gerakan yang masih bisa ditangkap dengan panca indera;
• Tradisi.

Namun ada juga bentuk tidak tertulis yang sama sekali tidak dapat ditangkap dengan panca indera. Hukum tidak tertulis dalam bentuk simbol biasanya mudah ditemukan pada masyarakat adat. Misalnya tanda sasi yang dibuat dengan janur kuning. Tamil ini Lisa berarti larangan atau pembolehan untuk memanfaatkan sumber daya alam tertentu. Misalnya sasi ikan lompa di beberapa tempat di Maluku. Simbol-simbol juga lazim digunakan dalam peraturan lalu lintas. Mlisalnya simbol dilarang parkir atau simbol lampu merah di traffic light yang berarti dilarang jalan. Dalam bahasa yang lain, pembadanan hukum scring juga diistilahkan dengan bentuk hukum.

Baik hukum tertulis maupun tidak tertulis sama-sama dijadikan sebagai sumber hukum dalam penyusunan peraturan perundang-undangan. Ketentuan ini tertera dalam Tap MPR No.III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan (Pasal I (2)).
Norma Hukum dan Norma-norma Sosial Lainnya

Dalam sebuah negara hukum, akan lebih baik: apabila diperhatikan tidak hanya sikap lahir, tetapi juga sikap bathin (empathy, compassion, sincerity, dare), yang kesemuanya bisa ditemukan dalam norma hukum dan norma-norma sosial yang hidup di negara tersebut.

Norma atau kaidah sosial merupakan salah situ perangkat yang membentuk sistem sosial. Sistem sosial merupakan cara orang untuk mengatur dirinya dalam kehidupan sosial. Norma sosial membantu orang-orang dalam melakukan hubungan antar mereka dengan memberi petunjuk mengenai apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan.

Norma hukum adalah satu di antara empat norma sosial yang ada. Tiga yang lain adalah norma kepercayaan atau keagamaan, norma kesusilaan dan norma sopan santun/ kebiasaan. Kalau norma kepercayaan dan norma kesusilaan ditujukan kepada sikap batin manusia, maka norma sopan santun/ kebiasaan dan norma hukum ditujukan kepada sikap lahir manusia. Norma hukum tidak memperdulikan apa yang dipikirkan atau apa yang ada di batin manusia. Aksioma ini tampak dalam kalimat: tidak seorang pun dapat dihukum karena apa yang dipikir, atau apa yang ada di dalam batinnya (cogitationis poenam nemo imam). Hukum mempersoalkan sikap kesal dan dongkol seorang, pembayar retribusi parkir, sepanjang orang tersebut akhirnya tetap membayar retribusi. Norma sosial berasal dari luar diri manusia yang dipaksakan keberlakukannya ke diri setiap orang oleh lembaga yang memang sudah diberikan otoritas. Jika norma kepercayaan, kesusilaan dan sopan satun/kebiasaan hanya berisi kewajiban maka norma hukum, selain berisi kewajiban, juga berisi hak.

Sekalipun norma hukum dapat dibedakan dengan norma-norma sosial yang lain namun tidak dapat dipisahkan karna di antara mereka terdapat seumlah titik tenet. Misalnya, sekalipun norma hukum hanya memperhatikan sikap lahir, namun pada sejumlah hal justru mempertimbangkan unsur sikap batin. Misalnya, norma hukum mempertimbangkan itikad baik dalam membuat ikatan. Beberapa perbuatan pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUI-IP) berasal dari kaidah kesusilaan dan kepercayaan. Misalnya larangan mencuri dan berzina.

Sistem Hukum
Ada dua cara yang selama ini digunakan untuk mengartikan istilah sistem hukum. Pertama, yang mengartikan sistem hukum sebagai kesatuan dari komponen atau unsur (sub-sistem) sebagai berikut: hukum materiil—hukum formil dan hukum perdata—hukum publik. Termasuk di dalam pandangan ini adalah yang melihat sistem hukum sebagai kesatuan antar berbagai peraturan perundang-undangan atau kesatuan antar peraturan perundang-undangan dengan asas-asas hukum.
Kedua, yang mengartikan sistem hukum sebagai kesatuan dart komponen: struktur hukum, substansi hukum dan budaya hukum.
• Struktur hukum diartikan sebagai kerangka atau rangka yang memberi bentuk dan batasan pada sistem hukum. Unsur struktur hukum adalah badan eksekutil, legislatif dan yudikatif. Bahan eksekutil tersusun atas presiden dan pembantu-pembantunya. Lembaga legislatif tersusun dari berbagai alas kelengkapan (pimpinan, komisi, pansus, pamus, baleg). Sedangkan lembaga yudikatif terdiri atas susunan: lembaga peradilan, jumlah anggota hakim agung dan pembagian peradilan umum dan peradilan khusus
• Substansi hukum adalah aturan, norma dan pola perilaku manusia yang nyata. Misalnya aturan mengenai penggunaan helm atau pajak bumi dan bangunan.
• Budaya hukum, meskipun dianggap komponen yang kurang jelas namun dianggap sebagai fondasi dari sistem hukum. Tampa budaya hukum, sistem hukum tidak akan berdaya. Budaya hukum tampak dalam kepercayaan, nilai, pemikiran dan harapan. Budaya hukum adalah kata lain untuk suasana dan kekuatan sosial yang bisa menentukan bagaimana hukum digunakan.
Beberapa hal di bawah ini adalah contoh-contoh budaya hukum:
(1) kebiasaan pengendara motor untuk memacu gas kalau lampu herwarna kuning. Padahal warna itu adalah tanda agar pengendara bersiap untuk berhenti menyongsong lampu warna merah;

(2) budaya orang Amerika yang senang berperkara ke pengadilan. Sebaliknya budaya orang Cina dan Jepang yang malu bila perkaranya akhirnya disidangkan di pengadilan;

(3) kebiasaan birokrasi mempersulit pengajuan permohonan apabila tidak disertai dengan uang pelicin.

Hubungan antara struktur hukum, substansi hukum dengan kultur hukum diibaratkan dengan ilustrasi sebagai berikut: struktur hukum sebagai mesin, substansi hukum adalah apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin dan kultur hukum adalah siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan atau mematikan mesin tersebut, termasuk digunakan untuk apa saja.

Jakarta. Kemampuan bahasa, latar belakang keilmuan dan sosial, serta jenjang pendidikan akan sangat memungkinkan munculnya tafsir yang berbeda terhadap aturan-aturan hukum. Pegawai-pegawai daerah yang jarang mendapatkan salinan peraturan perundang-undangan pusat dan produk hukum daerah seringkali memberikan jawaban-jawaban improvisasi bila mendapat pertanyaan dari warga masyarakat.

Aturan-aturan hukum bukan hanya ditafsir tetapi juga mengalami penyimpangan. Penyimpangan ini terjadi karena dua faktor :
(1) Masyarakat membuat sistem pengaturan sendiri yang berbeda dengan apa yang sudah ditetapkan secara normatif oleh hukum. Misalnya kebiasaan supir atau pengendara untuk memotong kendaraan di depannya dan sisi sebelah kiri.

(2) Petugas hukum melakukan pelanggaran atau penyimpangan. Misalnya, kebiasaan damai antara pelanggar peraturan lalu lintas dengan petugas kepolisian tanpa harus dibawa ke pengadilan. atau misalnya lolosnya kayu-kayu hasil penebangan ilegal karena membayar sejumlah pungutan liar kepada petugas. Penyimpangan-penyimpangan di atas mengakibatkan tumbuhnya kesenjangan hukum (legal gap), antara apa yang diidealkan oleh hukum dengan apa yang pada kenyataannya terjadi.

Budaya Mempengaruhi Operasi Hukum
Korupsi yang telah membudaya sangat mempengaruhi penegakan dan penerapan hukum. Ketentuan batasan waktu untuk menjawab permohonan banyak sekali dilanggar oleh aparat birokrasi dan aparat hukuman terhadap permohonan bisa Iehih cepat dan batas waktu maksimal apabila pemobon menyertakan uang pelicin. Sebaliknya, permohonan bisa dijawab melewati batas waktu maksimal manakala pemohon tidak memberikan uang pelicin. Perkara bisa “di peti-es kan” apabila tersangka atau keluarganya menyodorkan sejumlah uang kepada aparat penegak hukum.

Budaya sekadar rakur dengan aturan atau petugas hukum menyebabkan macet yang begitu parah apabila tidak ada petugas atau pada saat lampu lalu lintas (traffic light) mati. Perempatan-perempatan jalan di Jakarta cepat berubah jadi semrawut bila lampu lalu lintas tidak hidup. Para pengendara motor patuh kepada peraturan lampu lalu lintas bukan karena kesadaran, tapi lebih karena takut dengan aturan.

Aturan rnengenai larangan membawa senjata tajam (sajam) tanpa izin tidak bisa diberlakukan pada petani-petani di pedalaman Kalimantan, yang justru menjadikan kebiasaan membawa mandau (senjata tajam sejenis golok khas Kalimantan) sebagai budaya. Mandan adalah alat viral bagi mereka untuk bermacam-macam keperluan, termasuk untuk berladang. Polisi juga tidak mudah menyidik pelanggaran pidana di kampung-kampung, karena keluarga korban dan pelaku lebih suka menyelesaikan kasusnya lewat jalan musyawarah.

Jadi, budaya amat mempengaruhi pelaksanaan aturan-aturan hukum di dalam praktik kehidupan nyata sehari-hari. Budaya menyebabkan sejumlah ketentuan hukum sama sekali tidak bisa dijalankan. Budaya juga menyebabkan penerapan ketentuan hukum tidak bisa sepenuhnya, atau tidak bisa diberlakukan sama pada setiap pelanggaran atau sengketa.

0 comments:

Posting Komentar